JATIMHEBAT.COM – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tarif cukai hasil tembakau tidak akan naik pada tahun 2026. Keputusan ini disambut positif oleh para ekonom yang menilai langkah tersebut bisa menjadi titik awal penyelamatan industri rokok nasional, sekaligus upaya menyeimbangkan aspek fiskal, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan kebijakan menahan kenaikan cukai perlu dipahami dalam konteks keseimbangan kepentingan berbagai sektor. Menurutnya, cukai hasil tembakau tidak hanya berhubungan dengan penerimaan negara, tetapi juga menyangkut keberlangsungan jutaan tenaga kerja dan daya beli masyarakat.
“Dalam situasi yang jauh dari ideal, saya rasa perlu kita pikirkan jalan tengah. Aspek kesehatan mendapat perhatian, begitu juga aspek ketenagakerjaan dan fiskal secara adil,” ujar Wija, sapaan akrabnya, Jumat (17/10/2025).
Ia mencontohkan, sebagian penerimaan cukai hasil tembakau sebaiknya dialokasikan untuk sektor kesehatan, seperti subsidi BPJS Kesehatan atau pengembangan rumah sakit di daerah. “Cukai itu tujuannya mengurangi efek negatif dari satu industri. Kalau pajak bisa untuk apa saja, tapi cukai seharusnya punya arah yang lebih spesifik,” jelasnya.
Namun, Wija menekankan bahwa prasyarat penting agar kebijakan ini berjalan efektif adalah konsolidasi industri rokok dan pemberantasan rokok ilegal. “Ini harus dilakukan. Industri harus terkonsolidasi dan bersih dari peredaran ilegal supaya kebijakan fiskal bisa diterapkan dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai keputusan menahan kenaikan cukai akan memberikan kepastian bagi produsen rokok. Namun, dari sisi penerimaan negara, ia menyoroti tingginya ketergantungan fiskal terhadap sektor ini.
“Cukai hasil tembakau menyumbang lebih dari Rp200 triliun per tahun. Tanpa kenaikan tarif, penerimaan negara akan sangat bergantung pada efektivitas penertiban rokok ilegal,” kata Achmad.
Menurutnya, jika pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal dilakukan secara ketat, penerimaan negara tetap bisa stabil. Namun jika tidak, risiko defisit bisa terbuka lebar. Ia pun mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk lebih agresif menutup celah distribusi ilegal.
Achmad juga menilai, cukai rokok seharusnya tidak semata-mata menjadi instrumen fiskal, tetapi juga alat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. “Momentum ini harus dimanfaatkan untuk menertibkan pasar ilegal, memperkuat pengawasan harga eceran, dan memastikan penerimaan digunakan bagi kepentingan kesehatan publik,” ujarnya.
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya tersebut diambil setelah berdiskusi dengan para produsen rokok yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Dalam pertemuan itu, Purbaya menanyakan langsung kepada para pelaku industri apakah cukai perlu diubah tahun depan — dan mayoritas sepakat untuk mempertahankan tarif yang ada. (JFM)